"Act as if what you do makes a difference. It does."

~ William James

Tuesday, November 17, 2009

Kecenderungan Perilaku Bunuh Diri Pada Remaja Akhir

Bab I
Pendahuluan
A.Latar Belakang

Perkembangan individu berlangsung secara terus menerus dan tidak dapat diulang kembali. Kehidupan sesorang berawal dari masa infantile, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Masa yang paling sulit untuk dilupakan banyak orang adalah masa remaja,karena masa remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Masa remaja adalah fase dimana perubahan-perubahan yang significant terjadi dalam diri individu. Pada fase inilah terjadi transisi dari fase kanak-kanak menuju fase dewasa, fase remaja merupakan fase pemantapan identitas diri yang dipengaruhi pandangan orang-orang sekitar serta pengalaman pribadinya yang akan menentukan pola perilakunya sebagai orang dewasa.
Masa remaja terbagi menjadi tiga periode yaitu 12 hingga 15 tahun untuk masa remaja awal,15 hingga 18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 hingga 21 tahun untuk masa remaja akhir (Monsk, 2002).
Seiring dengan pertambahan usiannya para remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang terjadi pada lingkungannya serta yang paling utama dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam dirinya. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak dan tugas-tugas perkembangan tersebut harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dalam diri remaja serta dari lingkungannya (peer group). Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Seiring dengan tuntutan untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya, remaja dihadapkan pada beberapa permasalahan, yaitu sebagai implikasi dari pertumbuhannya. Permasalahan ini bisa dibilang unavoidable problem karena dapat dipastikan setiap individu yang melewati masa ini akan merasakannya. Teorinya Erik Erikson (dalam Irwanto,1996) mengatakan bahwa masalah yang paling dekat dengan para remaja pada usia mulai 12 tahun keatas adalah search for identity (mencari jati diri) dan role confusion (kebingungan peran). Dalam hal ini remaja ingin menunjukan jati dirinya, ingin melibatkan diri dalam urusan orang dewasa, ingin dibebaskan,ingin bertanggung jawab atas dirinya namun belum mampu untuk membuktikannya dan orangtua masih meragukan konsistensinya. Hal inilah yang sering sekali memicu permasalahan dalam keluarga. Hal ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jika persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.
Masalah lain yang dihadapi remaja adalah intimacy dan isolation. Masalah ini dianggap menjadi prioritas utama remaja karena individu sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Popular dengan sebutan “cinta monyet”, dan hal ini juga yang menjadikan fase remaja adalah fase favorit bagi setiap orang yang mengalaminya.
Dalam urusan percintaan ini, sikap dan perilaku remaja sangat dipengaruhi sehingga seringkali menjadi batu sandungan bagi orang tua dalam melakukan peranannya. Maka dari itu dibutuhkan figur orang tua yang mampu menjalankan peranannya sebagai penanam nilai-nilai moral, agama, dan disiplin adalah untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi permasalahan yang muncul pada fase remaja ini dan bekal untuk fase-fase selanjutnya. Namun, tidak semua remaja dibekali persiapan untuk menghadapinya, karena belakangan ini peran orang tua diduga kurang karena sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Jika komunikasi didalam keluarga kurang, maka masalah remaja dengan orang tua akan sering muncul jika si anak jatuh cinta, terlebih lagi jika jatuh cintanya pada seseorang yang menurut orang tua latar belakangnya kurang baik, hal ini dapat mengakibatkan penyimpangan perilaku pada remaja dan akan menjadi sangat bermasalah lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan orang tua.
Joyner & Udry (dalam Baron &Bryne,2003) berpendapat bahwa munculnya rasa cinta pada remaja itu bisa ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Hal positifnya yaitu mereka bisa merasakan sensasinya cinta, cinta memotivasi pertumbuhannya, memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan motivasi, dorongan, perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial. Sedangkan sisi negatifnya yaitu cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang atau ketakutan akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Ketika pasangan romantis remaja putus, konsekuensi yang umum terjadi adalah depresi, terutama pada perempuan-perempuan muda. Bagi orang yang sedang putus cinta biasanya akan merasa seperti orang yang sendirian tanpa seorangpun yang peduli padanya, karena orang yang peduli padanya telah meninggalkannya, pada saat itulah dia akan merasa sudah tidak berguna lagi di dunia.
Atas dasar pemikiran itulah remaja meyakini bahwa bunuh diri adalah satu-satunya cara untuk memecahkan masalah mereka. Tekanan hidup yang tampaknya terlalu besar untuk menanggulangi, dan beberapa remaja melihat bunuh diri sebagai jalan keluar. Menurut situs lanalana.wordpress.com, remaja yang nekat mengambil jalan pintas ingin mengakhiri hidupnya memiliki kecenderungan mudah putus asa, tidak bisa melihat jalan keluar ketika menghadapi masalah, hubungan dengan keluarga kurang harmonis, dan perkembangan jiwanya kurang matang. Selain pribadi dirinya yang kurang matang, faktor lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, keluarga, orang tua, juga turut mempengaruhi. Remaja yang mempunyai risiko bunuh diri, umumnya mempunyai profil atau ciri-ciri, diantaranya dikenal lingkungannya sebagai anak “baik”,memiliki tuntutan kemampuan yang tinggi, punya minat dan keinginan tinggi, memiliki karakter perfeksionis atau selalu harus sempurna, kesulitan untuk dapat menerima kekurangan diri, prestasi akademik mulai kurang sampai di atas rata-rata.
Menurut penelitian yang dilakukan The Surgeon General bahwa kasus bunuh diri pada remaja dapat terjadi setiap dua jam sehari di negara Amerika , lebih dari setengah populasi mahasiswa berjumlah 26.000 dari 70 perguruan tinggi Amerika Serikat yang menyelesaikan survei mengenai pengalaman bunuh diri, telah melaporkan bahwa mereka pernah memikirkan untuk bunuh diri, paling tidak sekali dalam hidup mereka. Dari mahasiswa yang disurvei 15 persennya telah memikirkan secara serius untuk bunuh diri, dan lebih dari 5 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri paling tidak sekali dalam hidup mereka (http://netsains.com). Sedangkan di Indonesia, menurut data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, dari tahun 2003 sampai tahun 2006 secara nasional, sudah ada 114 kasus bunuh diri yang terdeteksi media, kemudian lima bulan terakhir pada 2007, menurut catatan RSU dr Soetomo Surabaya, angka bunuh diri pada remaja meningkat pesat. Setidaknya ada lima korban yang meninggal karena bunuh diri per bulannya. Tercatat 27 korban meninggal karena percobaan bunuh diri (Sumber: Kamar Mayat dan IRD RSU dr Soetomo).
Percobaan bunuh diri pada remaja wanita 3 kali lebih banyak dibandingkan remaja laki-laki namun, keberhasilan bunuh diri pada remaja laki-laki 5 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hal ini dikarena laki-laki lebih mempunyai cara-cara bunuh diri yang lebih mematikan dibandingkan dengan remaja putri.
Kebiasaan dan ide-ide bunuh diri ini biasanya merupakan hasil dari sebuah keputusasaan atas hubungan sosial dan keluarga serta kehilangan harapan. Kejadian bunuh diri ini akan berdampak sangat dalam pada kehidupan keluarga, sekolah, bahkan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu penanganan kasus ini harus dilakukan oleh seluruh pihak masyarakat termasuk pemerintah.

B.Pertanyaan Penelitian
1.Apakah faktor yang memotivasi remaja memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri?
2.Bagaimana cara-cara remaja melakukan aksi bunuh dirinya?
3.Apakah yang remaja harapkan dari perilaku bunuh diri ini?

C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui faktor yang memotivasi remaja memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri, cara-cara remaja melakukan aksibunuh dirinya serta yang diharapkan remaja terhadap perilaku bunuh diri ini.

D.Manfaat Penelitian
1.Manfaat teoritis : Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama psikologi klinis dan psikologi perkembangan, serta dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut terutama dalam mengkaji variable lain yang berkaitan dengan prilaku bunuh diri dan cara mengatasi perilaku bunuh diri pada remaja.

2.Manfaat praktis : Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan feedback bagi pada remaja yang mempunyai kecenderungan bunuh diri ini agar mempunyai strategi coping yang tepat untuk meningkatkan harapan untuk mempunyai kehidupan yang bermakna bagi dirinya,keluarga dan lingkungannya. Serta dengan adanya peelitian ini, diharapkan para orang tua lebih aware terhadap perilaku anak remaja agar kecenderungan yang belum atau sudah dialami remaja dapat diantiasipasi dan ditanggulangi dengan cepat dan tepat.

•Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
•http://netsains.com
•Irwanto dkk.1996. Psikologi Umum : Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta : Gramedia.

No comments:

Post a Comment