"Act as if what you do makes a difference. It does."

~ William James

Tuesday, November 17, 2009

Kecenderungan Perilaku Bunuh Diri Pada Remaja Akhir

Bab I
Pendahuluan
A.Latar Belakang

Perkembangan individu berlangsung secara terus menerus dan tidak dapat diulang kembali. Kehidupan sesorang berawal dari masa infantile, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Masa yang paling sulit untuk dilupakan banyak orang adalah masa remaja,karena masa remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Masa remaja adalah fase dimana perubahan-perubahan yang significant terjadi dalam diri individu. Pada fase inilah terjadi transisi dari fase kanak-kanak menuju fase dewasa, fase remaja merupakan fase pemantapan identitas diri yang dipengaruhi pandangan orang-orang sekitar serta pengalaman pribadinya yang akan menentukan pola perilakunya sebagai orang dewasa.
Masa remaja terbagi menjadi tiga periode yaitu 12 hingga 15 tahun untuk masa remaja awal,15 hingga 18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 hingga 21 tahun untuk masa remaja akhir (Monsk, 2002).
Seiring dengan pertambahan usiannya para remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang terjadi pada lingkungannya serta yang paling utama dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam dirinya. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak dan tugas-tugas perkembangan tersebut harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dalam diri remaja serta dari lingkungannya (peer group). Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Seiring dengan tuntutan untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya, remaja dihadapkan pada beberapa permasalahan, yaitu sebagai implikasi dari pertumbuhannya. Permasalahan ini bisa dibilang unavoidable problem karena dapat dipastikan setiap individu yang melewati masa ini akan merasakannya. Teorinya Erik Erikson (dalam Irwanto,1996) mengatakan bahwa masalah yang paling dekat dengan para remaja pada usia mulai 12 tahun keatas adalah search for identity (mencari jati diri) dan role confusion (kebingungan peran). Dalam hal ini remaja ingin menunjukan jati dirinya, ingin melibatkan diri dalam urusan orang dewasa, ingin dibebaskan,ingin bertanggung jawab atas dirinya namun belum mampu untuk membuktikannya dan orangtua masih meragukan konsistensinya. Hal inilah yang sering sekali memicu permasalahan dalam keluarga. Hal ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jika persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.
Masalah lain yang dihadapi remaja adalah intimacy dan isolation. Masalah ini dianggap menjadi prioritas utama remaja karena individu sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Popular dengan sebutan “cinta monyet”, dan hal ini juga yang menjadikan fase remaja adalah fase favorit bagi setiap orang yang mengalaminya.
Dalam urusan percintaan ini, sikap dan perilaku remaja sangat dipengaruhi sehingga seringkali menjadi batu sandungan bagi orang tua dalam melakukan peranannya. Maka dari itu dibutuhkan figur orang tua yang mampu menjalankan peranannya sebagai penanam nilai-nilai moral, agama, dan disiplin adalah untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi permasalahan yang muncul pada fase remaja ini dan bekal untuk fase-fase selanjutnya. Namun, tidak semua remaja dibekali persiapan untuk menghadapinya, karena belakangan ini peran orang tua diduga kurang karena sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Jika komunikasi didalam keluarga kurang, maka masalah remaja dengan orang tua akan sering muncul jika si anak jatuh cinta, terlebih lagi jika jatuh cintanya pada seseorang yang menurut orang tua latar belakangnya kurang baik, hal ini dapat mengakibatkan penyimpangan perilaku pada remaja dan akan menjadi sangat bermasalah lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan orang tua.
Joyner & Udry (dalam Baron &Bryne,2003) berpendapat bahwa munculnya rasa cinta pada remaja itu bisa ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Hal positifnya yaitu mereka bisa merasakan sensasinya cinta, cinta memotivasi pertumbuhannya, memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan motivasi, dorongan, perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial. Sedangkan sisi negatifnya yaitu cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang atau ketakutan akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Ketika pasangan romantis remaja putus, konsekuensi yang umum terjadi adalah depresi, terutama pada perempuan-perempuan muda. Bagi orang yang sedang putus cinta biasanya akan merasa seperti orang yang sendirian tanpa seorangpun yang peduli padanya, karena orang yang peduli padanya telah meninggalkannya, pada saat itulah dia akan merasa sudah tidak berguna lagi di dunia.
Atas dasar pemikiran itulah remaja meyakini bahwa bunuh diri adalah satu-satunya cara untuk memecahkan masalah mereka. Tekanan hidup yang tampaknya terlalu besar untuk menanggulangi, dan beberapa remaja melihat bunuh diri sebagai jalan keluar. Menurut situs lanalana.wordpress.com, remaja yang nekat mengambil jalan pintas ingin mengakhiri hidupnya memiliki kecenderungan mudah putus asa, tidak bisa melihat jalan keluar ketika menghadapi masalah, hubungan dengan keluarga kurang harmonis, dan perkembangan jiwanya kurang matang. Selain pribadi dirinya yang kurang matang, faktor lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, keluarga, orang tua, juga turut mempengaruhi. Remaja yang mempunyai risiko bunuh diri, umumnya mempunyai profil atau ciri-ciri, diantaranya dikenal lingkungannya sebagai anak “baik”,memiliki tuntutan kemampuan yang tinggi, punya minat dan keinginan tinggi, memiliki karakter perfeksionis atau selalu harus sempurna, kesulitan untuk dapat menerima kekurangan diri, prestasi akademik mulai kurang sampai di atas rata-rata.
Menurut penelitian yang dilakukan The Surgeon General bahwa kasus bunuh diri pada remaja dapat terjadi setiap dua jam sehari di negara Amerika , lebih dari setengah populasi mahasiswa berjumlah 26.000 dari 70 perguruan tinggi Amerika Serikat yang menyelesaikan survei mengenai pengalaman bunuh diri, telah melaporkan bahwa mereka pernah memikirkan untuk bunuh diri, paling tidak sekali dalam hidup mereka. Dari mahasiswa yang disurvei 15 persennya telah memikirkan secara serius untuk bunuh diri, dan lebih dari 5 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri paling tidak sekali dalam hidup mereka (http://netsains.com). Sedangkan di Indonesia, menurut data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, dari tahun 2003 sampai tahun 2006 secara nasional, sudah ada 114 kasus bunuh diri yang terdeteksi media, kemudian lima bulan terakhir pada 2007, menurut catatan RSU dr Soetomo Surabaya, angka bunuh diri pada remaja meningkat pesat. Setidaknya ada lima korban yang meninggal karena bunuh diri per bulannya. Tercatat 27 korban meninggal karena percobaan bunuh diri (Sumber: Kamar Mayat dan IRD RSU dr Soetomo).
Percobaan bunuh diri pada remaja wanita 3 kali lebih banyak dibandingkan remaja laki-laki namun, keberhasilan bunuh diri pada remaja laki-laki 5 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hal ini dikarena laki-laki lebih mempunyai cara-cara bunuh diri yang lebih mematikan dibandingkan dengan remaja putri.
Kebiasaan dan ide-ide bunuh diri ini biasanya merupakan hasil dari sebuah keputusasaan atas hubungan sosial dan keluarga serta kehilangan harapan. Kejadian bunuh diri ini akan berdampak sangat dalam pada kehidupan keluarga, sekolah, bahkan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu penanganan kasus ini harus dilakukan oleh seluruh pihak masyarakat termasuk pemerintah.

B.Pertanyaan Penelitian
1.Apakah faktor yang memotivasi remaja memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri?
2.Bagaimana cara-cara remaja melakukan aksi bunuh dirinya?
3.Apakah yang remaja harapkan dari perilaku bunuh diri ini?

C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui faktor yang memotivasi remaja memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri, cara-cara remaja melakukan aksibunuh dirinya serta yang diharapkan remaja terhadap perilaku bunuh diri ini.

D.Manfaat Penelitian
1.Manfaat teoritis : Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama psikologi klinis dan psikologi perkembangan, serta dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut terutama dalam mengkaji variable lain yang berkaitan dengan prilaku bunuh diri dan cara mengatasi perilaku bunuh diri pada remaja.

2.Manfaat praktis : Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan feedback bagi pada remaja yang mempunyai kecenderungan bunuh diri ini agar mempunyai strategi coping yang tepat untuk meningkatkan harapan untuk mempunyai kehidupan yang bermakna bagi dirinya,keluarga dan lingkungannya. Serta dengan adanya peelitian ini, diharapkan para orang tua lebih aware terhadap perilaku anak remaja agar kecenderungan yang belum atau sudah dialami remaja dapat diantiasipasi dan ditanggulangi dengan cepat dan tepat.

•Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
•http://netsains.com
•Irwanto dkk.1996. Psikologi Umum : Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta : Gramedia.

Monday, October 26, 2009

Friday, October 16, 2009

Abnormal



A.    PENGERTIAN ABNORMALITAS ATAU GANGGUAN PERILAKU
Perilaku abnormal (abnormal behavior) bagi para hli seringkali disebut dengan gangguan perilaku (behavior disorder), atau ada juga yang menyebutnya lagi dengan mental ilness (Morgan dkk, 1984).
Untuk mendefinisikan abnormalitas tersebut, Atkinson dkk. (1992) mencoba membandingkannya antara perilaku abnormal dengan perilaku normal. Oleh karena itu cara mendefinisikannya dapat dilakukan dengan beberapa cara. Beberapa cara untuk mendefinisikan perilaku abnormal antara lain adalah :
 
Penyimpangan Dari Norma Statistik                                                                                  
Kata abnormal dapat berarti ’di luar normal”. Definisi Abnormalitas didasarkan kepada     penyimpangan kurve normal dalam statistik. Penedinisian ini barangkali menjadi lemah, karena bagi orang yang cerdas atau sangat gembira akan dapat digolongkan sebagai abnormal.

Penyimpangan Dari Norma Sosial
Setiap masyarakat memiliki patokan tertentu : Untuk perilaku yang dapat diterima ataupun perilaku yang menyimpang (abnormal). Perilaku yang dianggap normal oleh suatu masyarakat bisa jadi dianggap abnormal oleh masyarakat lain. . Misalnya, perilaku poliandri.

Perilaku Maladaptif
Perilaku abnormal berdasarkan hal-hal yang menyimpang, baik secara statistik maupun norma sosial. Kriteria terpenting adalah bagaimana perilaku tersebut berpengaruh pada peribadi seseorang/ atau kelompok. Oleh karena itu, perilaku abnormal kemudian disebut perilaku maladaptif (tidak dapat menyesuaikan diri dngan keadaan), yang memilki dampak yang merugikan dan membahayakan orang lain atau masyarakat.

Kesusahan Pribadi
Kriteria keempat untuk menilai abnormalitas adalah dari sudut pandang subjektif seseorang dan bukannya perilaku orang tersebut. Umumnya orang yang didiagnosis menderita ”sakit jiwa” mengalami penderitaan batin yang akut ; selalu khwatir, batinnya menderita, gelisah, tidak dapat tidur, nafsu makan hilang, mengalami berbagai macam rasa sakit dan nyeri. Terkadang penderitaan batin merupakan gejala abnormalitas, dimana perilaku penderita tampak normal-normal saja bagi orang awam.

Neurosis dan Psikosis
Neurosis atau gangguan jiwa adalah gejala yang umum yang dialami oleh manusia pada taraf tertentu, ditandai dengan stress, kecemasan, kesedihan, atau gangguan maladaptif lain yang pada tingkat tertentu perlu di rumahsakitkan. Psikosis meliputi gangguan yang lebih serius. Perilaku dan proses berpikir individu sudah mengalami gangguan sedmikian rupa, sehingga sudah tidak ada lagi kontak dengan realitas. Individu juga tidak dapat berfungsi di masyarakat. Oleh karena itu, penderita tersebut perlu di rumahsakitkan.

B.  KLASIFIKASI GANGGUAN
Berdasarkan sifatnya, perilaku abnormal dapat digolongkan menjadi empat :
(1) yang bersifat akut dan sementara, yang disebabkan oleh peristiwa yang penuh dengan stress
(2) yang bersifat kronis dan selama-lamanya ;
(3) yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada sistem syaraf ;
(4) yang merupakan akibat dari lingkungan sosial yang tidak menguntungkan dan / atau  pengalaman.

Individual differences menjadikan adanya keunikan dari individu, sehingga tidak ada dua orang yang mengalami kehidupannya secara sama persis. Namun, terdapat beberapa kesamaan yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori (Atkinson dkk. 1992).
Menurut Atkinson dkk (1992) terdapat beberapa keuntungan dan kelemahan dari penggolongan terhadap perilaku abnormal. Keuntungannya antara lain adalh jika kita mennemukan berbagai macam perilaku abnormal yang memiliki sebab yang berbeda-beda, kita dapat memilah-milahkannya dengan mengelompokkan individu- individu tersebut menurut kesamaan perilakunya dan kemudian mencari kesamaan lainnya. Misalnya didiagnosis terhadap gangguan skizofrenia.
Kerugiannya adalah diabaikannya konsep individual differences, sehingga ciri-ciri khusus pada pasien diabaikan pula. Klinis berharap bahwa pasien akan cocok dengan pengelompokkan (dianosis) tertentu. Penilaian terhadap pasien juga cenderung tidak dapat membedakan antara perilaku yang muncul dengan individu-nya.
           
Teknik Klasifikasi. Klasifikasi gangguan jiwa atau yang kemudian dikenal dengan istilah diagnosis yang digunakan oleh para ahli jiwa di Amerika Serikat adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth-Edition atau DSM-IV.


Di Indonesia yang digunakan adalah PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa). Diagnosis Berdasarkan PPDGJ ini juga ditegakkan berdasarkan Lima Aksis. Kelima aksis tersebut adalah :
Aksis I & II : seluruhnya dapat dilihat dalam kasifikasi PPDGJ ;
Aksis II       : gangguan ciri kepribadian tertentu ;
Aksis III      : gangguan fisik ;
Aksis IV      : taraf stres psikososial ;
Aksis V       : taraf tertinggi dari fungsi penyesuaian dalam  satu tahun terakhir. 


C. GANGGUAN KECEMASAN
Kecemasan dianggap tidak normal bila berlebihan dan  mengahambat fungsi akademik dan sosial atau menjadi menyusahkan.
Pada bagian berikut, keempat jenis kecemasan akan dibahas satu-persatu, yaitu :

1.  Gangguan  Kecemasan Menyeluruh dan Gangguan Panik
Seseorang yang mengalami ganggguan kecemasan menyeluruh (generalized anxiety disorder) setiap hari kehidupannya dalam keadaan tenang. Keluhan fisiki yang muncul antara lain adalah: tidak tenang , tidur terganggu, kelelahan, sakit kepala, dan jantung berdebar-debar.
Penderita yang mengalami kecemasan menyeluruh juga dapat mengalami serangan panik (panic attack), suatu keadaan tiba-tiba penuh dengan keprihatinan atau teror yang akut dan mel uap-luap. Serangan ini juga ditandai dengan gejala-gejala fisik seperti: kehabisan nafas, berkering
at, otot-otot bergetar, pusing, dan rasa muak. Dalam serangan ini, penderita takut bahwa dirinya akan mati (Atkinson dkk .1992).
Orang yang mengalami gangguan kecemasan, baik kecemasan menyeluruh maupun gangg
uan panik biasanya tidak mengetahui sebabnya mengapamereka tercekam ketakutan, sehingga ke cemasan ini disebut dengan ”mengambang dengan bebas”, kecemasan yang tidak jelas penyebab nya.

2.  Phobia
Penderita phobia tidak,  tidak menhdapai stimulus atau peristiwa tertentu biasanya menyadari bahwa ketakutannya tidak rasional, tetapi dia tetap merasakannya bahwa munculnya kecemasan yang hanya dapat diredakan apabila dia dapat menghindarinya. (Atkinson dkk.1992)
Beberapa macam Phobia anatara lain adalah (Atkinson dkk, 1992; Chaplin, 1995) :
Acrophobia                 :Ketakutan pada ketinggian
Agoraphobia               :Ketakutan pada tempat terbuka
Clausrtophobia            :Ketakutan pada tempat tertutup
Hemaphobia                :Ketakutan pada darah
Nyctophobia               :Ketakuta pada kegelapan
Enophobia                   :Ketakutan pada orang asing
Zoophobia                   :Ketakutan pada binatang tertentu
Phobia Sekolah           : Phobia pada anak kecil yang takut terpisah dengan orang tuanya, karena harus sekolah .  


3. Gangguan Obsesif-Kompulsif
Penederita gangguan Obsesif-Kompulsif merasakan keterpaksaan berpikir tentang hal-hal yang tidak ingin mereka pikirkan atau melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan. Obsesi merupakan gangguan terus-menerus dari pikiran  atau bayangan yang tidak diinginkan. Kompulsi adalah desakan tidak tertahankan untuk melakukan tertentu. Pikiran osesif dapat dikaitkan dengan tindakan kompulsif. Misalnya pikiran  penderita tentang kuman penyakit, maka perilaku kompulsinya adalah mencuci alat-alat makan berkali-kali sebelum dipakai.(Atkinson dkk.1992)
Pada penderita Osesif-Kompulsif, pikiran mencekam dan desakan untuk melakukan sesuatau telah memenuhi benaknya tetapi tidak dapat mengendalikannya dengan baik. Penderita ini bisa menjadi cemas jika mencoba menahan kompulsinya, dan merasa lega begitu tindakannya dilakukan.

D.  GANGGUAN AFEKTIF
Gangguan afektif merupakn gangguan afeksi (emosi) atau mood (suasana hati) seseorang. Penderita gangguan ini dapat mengalami depresi atau manik (kegirangan yang tidak wajar) atau dapat bergantian antara manik dan depresif (Atkinson dkk. 1992).
1.   Depresi
Depresi dianggap abnormal ketika depresi tersebut di luar kewajaran dan berlanjut sampai saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson dkk, 1992). Depresi pada orang normal dapat diartikan sebagai keadaan murung (kesedihan, patah hati, dan patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurunnya aktivitas , dan pesimisme di dalam menghadapi masalah yang akan datang . Sedangkan, depresi secara abnormal dapat diartikan sebagai ketidakmauanyang ekstrim untuk merespons stimulus dan disertai menurunnya nilai diri, ketidakmampuan, delusi, dan putus asa ( Chaplin, 1995).
Penderita depresi tidak mampu mengambil keputusan untuk memulai suatu kegiatan atau memusatkan perhatiannya kepada sesuatu yang menarik. Dalam taraf yang ekstrim, penderita dapat disertai adanya kecemasan dan bisa jadi mencoba untuk bunuh diri.

2.   Episode Manik
Manik dapat diartiakn sebagtai tingkah laku berang, keras, bengis, kasar, tidak terkontrol, yang disertai dengan tindakan motorik yang berlebihan dan perilaku impulsif (Chaplin, 1995). Dalam beberapa hal perilaku manik berlawanan dengn depresi. Gangguan ini dapat dikategorikan lagi menjadi episode manik ringan (hipomania) dan episode parah (mania).
Pada episode ringan (hipomania), penderita penuh dengan energi, antusia, dan percaya diri. Perilaku manik dibandingkan dengan orang normal seringkali lebih mengekspresikan kebencian daripada kegembiraan.
Pada episode parah (mania), penderita amat bersemangat dan harus selalu aktif. Mereka dapat melangkah bolak-balik, berteriak, menyanyi, atau memukul-mukul dinding selama berjam-jam. Jika orang lain akan mengganggu aktivitasnya, maka ia akan marah dan menjadi ganas. Penderita ini elain mengalami disorientasi, juga sering mengalami delusi. 


3.   Gangguan Manik-Depresif
Beberapa individu dapat mengalami manik saja, tetapi kebanyakan  individu yang mengalami episode manik juga mengalami saat-saat depresi. Siklus episodenya dapat berganti-ganti  antara episode manik dengan episode depresif, serta sering menunjukkan perilaku norma diantara kedua episode tersebut. Gangguan Manik- Depresif seringkali disebut dengan istilah gangguan bipolar, karena penderita beralih dari satu kutub perasaan ke kutub perasaan lainnya. 

E.   GANGGUAN SKIZOFRENIA
1.    Pengertian
Skizofrenia adalah suatu istilah  untuk beberapa gangguan yang ditandai dengan kekacauan kepribadian, distorsiterhadap realitas, ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan.sehari-hari, perasaan dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, delusi, gangguan persepsinya.
Umumnya gangguan ini muncul pada usia yang sangat muda, dan memuncak pada usia antara 25-35 tahun. Gangguan yang muncul dapat terjadi secara lambat atau datang secara tiba-tiba pada penderita yang cenderung suka menyendiri yang mengalami stres.

2.    Ciri-ciri Skizofrenia
Beberapa ciri utama penderita Skizofrenia yang tidak selalu muncul pada setiap penderitanya antara lain adalah :
a.    Kekacauan Pikiran dan Perhatian
Keakacauan pikiran disini merupakan kesulitan umum untuk menyaring stimulus yang relevan. Pada penderita skizofrenia sulitnya mengambil makna dan menyeleksi  masukan-masukan yang beragam. Ketidakmampuan menyaring ini ditandai dengan pembicaraan yang tidak berujung pangkal.
b.    Kekacauan Persepsi
       Pada penderita skizofrenia akut seringkali mengalami bahwa dunia tampak berbeda baginya. Halusinasi, bentuk gangguan persepsi yang paling umum pada skizofrenia. Suara terdengar lebih keras, warna terlihat lebih mencolok, dan t ubuhnya terlihat tidak sama. Beberapa penderita sudah tidak dapat mengenali dirinya sendiri di dalam cermin atau melihat bayangannya seperti bayangan rangkap tiga.
c.    Kekacauan Afektif
       Penderita skizofrenia umumnya tidak dapat memberikan respons emosional yang normal dan wajar. Kadang-kadang mereka mengungkapkan perasaan yang tidak sesuai dengan situasi atau pikiran yang diungkapkan.
d.    Penarikan Diri dari Realita
Selama mengalami penderitaan skizofrenia seseorang cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya sendiri). Keasyikan dengan diri sendiri tersebut seringkali disebut dengan autisme. Keasyikan dengan diri sendiri dapt menjadi amat intens, sehingga penderita mengalami disorientasi waktu dan disorientasi tempat.
Penarikan diri dari realita ini pada penderita yang akut dapat bersifat sementara. Sedangkan pada penderita kronis, penarikan diri dapat bertahn dan berkembang sedemikian rupa, sehinggapenderita menjadi tidak responsif pada peristiwa-peristiwa eksternal, tetap diam dan tidak bergerak selama berhari-hari, serta harus dirawat seperti bayi.
e.    Delusi dan Halusinasi
Delusi adalah suatu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru, yang tidak dapat diubah lewat penalaran atau dengan disajikannya fakta-fakta.  Delusi yang sifatnya menetap dan sistematis akan berakibat menjadi abnormal.
Beberapa jenis delusi pada penderita skizofrenia antara lain adalah delusi paranoid dan waham kebesaran. Delusi paranoid atau delusi persekusi adalah adanya keyakinan penderita bahwa da orang tau kelompok tertentu mengancam tau secara diam-diam merencanakan kan melawan penderita. Sementara waham kebesaran adalah keyakinan bahwa dirinyalah yang kuat atau yang terpenting.
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan yang keliru atau palsu, dimana penderita menghayati gejal-gejala yang dikhayalkan sebagai hal yang nyata. Halusinasi pada penderita skizofrenia bisa secara auditoris , visual, maupun sensoris.
3.    Tipologi Skizofrenia
       Menurut Baron (1989) skizofrenia dapat dikategorikan lagi menjadi empat yaitu :
Disorganized Schizofrenia
        Seringkali disebut dengan istilah skizofrenia Hebefrenik (kacau), dimana ciri yang menonjol adalah ketololan dan inkoherensi. Para penderita seringkali tertawa atau menangis keras-keras untuk sebab yng tidak jelas dan berceloteh tanpa makna dalam beberapa jam. Beberapa diantaranya kadang-kadang mengalami delusi dan halusinasi, meski kabur dan tidak jelas.
Paranoid Schizofrenia    
        Pada tipe ini, penderita mengalami delusi persekusi, yaitu adanya keyakinan melihat orang-orang berkomplotan untuk merusak atau menyerang penderita dimana saja berada. Mereka juga mengalami waham kebesaran.
Catatonic Schizofrenia
Penderita skizofrenia katatonik banyak mengalami kejadian-kejadian aneh dan ganjil (bizzare) secara menyeluruh. Ada dua subtipe, yakni subtipe pada Catatonic Schizofrenia, yakni :
1)      Subtipe Stupor,  ciri-cirinya adalah : mengalami stupor, yaitu kehilangan semangat hidup dan senang diam dalam posisi kaku tertentu sambil membisu dan menatap dengan pandangan kosong.
2)      Subtipe aktif (exicited), dengan ciri-ciri : dari keadaan katatonik serba pasif, secara tiba-tiba berubah menjadi ”excited”, berbicara dan berteriak-teriak tak keruan, berjalan mondar-mandir, melakukan aktivitas seksual secara terbuka, seperti masturbasi, melukai diri atau binuh diri, atau sebaliknya menyerang dan mencoba membunuh orang lain.

Undifferentiated Schizofrenia
Skizofrenia jenis ini adalah bagi penderita yang tidak dapat dikategorikan pada skizofrenia tipe yang lain, termasuk di dalamnya skizofrenia yang menunjukkan adanya gangguan pada pikiran, persepsi, emosi, meski tidak terlihat aneh pada tipe yang lainnya.
        
 
 
                  DAFTAR PUSTAKA

Jeffrey ,S.Nevid .,Spencer,A.Rathus ., &Greene.2003. Psikologi Abnormal Jilid 2 . Edsis Kelima.
            Alih Bahasa : Tim Fakultas Universitas Indonesia. Jakarta : Erlangga .

Dwi Riyanti, B.P., Prabowo,H . 1998. Psikologi Umum 2 . Seri Diktat Kuliah . Jakarta : Fakultas Psikologi  Gunadarma .
created by : lc_bhelow@ymail.com